QOIDAH PERTAMA
الإجتهاد لا ينقض بالإجتهاد
"Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad"
Ijtihad
dalam istilah para fuqaha adalah mengerahkan segenap usaha dan kemampuan untuk
mendapatkan hokum syara’ dari dalil-dalilnya yang syar’i.[1]ijtihad
tidak boleh ( tidak bisa diubah ) dengan ijtihad yang lain, baik mengenai
ibadah maupun tentang hal-hal yang lain. Dasar qaidah diantaranya adalah ijma’
sahabat, yaitu:[2]
•
Riwayat Ibnu al-Shibah, yaitu:
“sesungguhnya Abu Bakar ra. ( yang saat itu sebagai khalifah
) memberikan keputusan hokum pada beberapa masalah, lalu di masa khalifah Umar
ra. Diperselisihkan dan beliau ( Umar ) tidak membatalkan keputusan Abu Bakar
ra dan tetap mengakuinya.
•
Khalifah Umar bin Khatab pernah
memberikan suatu keputusan hokum dua kali dalam masalah “ Pembagian harta
warisan yang Musytarakah yang saling berbeda, dimana keputusan pertama berbeda
dengan keputusan kedua, sehingga beliau ( Umar ) berkata demikian :
تلك على ما قضينا و هذه على
ما نقضي
Itu adalah
yang telah kami putuskan pada masa terdahulu dan ini adalah yang kami putuskan
pada masa sekarang.
Begitu juga keputusan beliau (Umar) terhadap hukum had
dengan keputusan-keputusan yang berbeda-beda.Adapun contoh kaidah, adalah
sebagai berikut :
1.
Apabila ada orang ijtihad kiblat
untuk melakukan sholat dhuhur. Kemudian ijtihad yang kedua tidak sama dengan
ijtihad yang pertama, maka sholat dzuhurnya tetap sah.
2.
Apabila ada orang sholat 4 rakaat
dalam 4 arah kiblat karena berbeda-beda hasil ijtihadnya, maka sholatnya
dianggap sah dan tidak wajib mengulanginya.[3]
Aplikasi kaidah diantaranya adalah apabila hakim menghukumi
sesuatu, kemudian ijtihadnya berubah maka hukumnya yang pertama tidak
dibatalkan. Akan tetapi, dia dapat menghukumi di masa yang akan datang dengan
ijtihadnya yang baru, sebagaimana juga tidak diperbolehkan bagi hakim lain
untuk mmembatalkan hokum hakim yang pertama, dengan alas an yang berbeda dengan
pendapatnya. Karena, ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang semisal
dengannya.[4]
Adapun pengecualian kaidah,
diantaranya :[5]
1.
seorang imam boleh merubah bumi
larangan imam sebelumnya. (حمى) adalah bumi yang tidak boleh dimiliki seserang
seperti pasar, kebun raya, kuburan dan lain-lain.
2.
Pembagian untuk pembayaran hutang,
ada saksi yang menyatakan salah pembagian.
3.
Prosentase harta warisan apabila
ternyata ada yang lebih banyak atau lebih sedikit maka boleh dirubah.
QOIDAH
KEDUA
اذا اجتمع الحلال و الحرام غلب الحرام
“Apabila
berkumpul antara perkara yang halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah
perkara yang haram”
Adapun
dasar pijakan dari kaidah ini adalah sabda nabi saw .sebagai berikut:
ما اجتمع الحلال و الحرام الاّ غلب الحرام الحلال
“Tidaklah
berkumpul halal dengan haram kecuali
haram itu mengalahkan yang halal.”
Sekalipun sanad alhadis ini lemah ,tetapi kaidahnya sendiri
sudah benar dan tidak bertentangan dengan nash ( sebagaimana pandangan imam
assubki),maka hadis tersebut tetap dapat dijadikan sebagai hujjah,sebab sesuai
dengan perintah agama yaitu untuk selalu ihtiyat (hati-hati).[6]
Adapun
contoh Dari kaidah ini diantaranya adalah :[7]
1. Apabila ada dua dalil yang bertentangan salah satunya
menerangkan haram,dan yang lain menerangkan halal maka yang dimenangkan adalah
dalil yang menerangkan haram.
2. Apabila ada hewan yang satu dari induknya halal dimakan dan
induk yang lain haram dimakan maka hewan tersebut haram dimakan.
3. Apabila ada pephnan yang sebagiannya ada ditanah halal dan
yang lain ada ditanah haram maka berhukum haram untuk memotongnya. Termasuk
dalam kaidah ini adalah tafriqu
As-Shufqoh.
Tafriq
al-Shufqoh merupakan istilah yang dikenal dengan konteks permasalahan yang
terjadi dalam transaksi jual beli, dimana terdapat satu akad yang terjadi atas
dua barang yang halal dan haram, dan transaksi ini dilakukan secara
bersamaan.Contohnya seperti menjual cuka dan khamr dalam satu akad.
Dalam
persoalan seperti ini kita temui terdapat dua pendapat.Qaul ashah (pendapat prioritas)menilai transaksi seperti berhukum
sah, akan tetapi hanya pada barang yang halal. Sementara pada barang yang haram
hukumnya tidak sah. Alasannya, masing-masing darang yang ditransaksikan adalah
dua unsur yang berdiri sendiri: yang haram tetap haram dan yang halal tetap
halal, sehingga transaksi pada barang yang halal hukumnya sah. Yang batal hanya
pada barang yang haram saja.[8]
Sedangkan
versi lain mengatakan batal semuanya, karena dalam kasus ini ada unsur
percampuran unsur halal dan haram, sehingga yang lebih menghegemoni (syumul) adalah hukum haram.
Syarat-syarat Tafriq al-Shufqoh[9]
1.
Tidak terjadi dalam lingkup ibadah.
Jika terjadi dalam lingkup ibadah maka tidak akan ada pertententangan ulama'.
Seperti zakat dua tahun yang dibayarkan pada tahun pertama, zakatnya dianggap
sah pada tahun yang pertama saja, dan tahun kedua harus dikeluarkan ulang pada
tahun berikutnya.
2.
Tidak terjadi dalam permasalahan
yang memiliki aspek penjalaran-sirayah (implikatif)atau taghlib (dominasi). Contoh: sirayah- budak yang dimiliki oleh dua
orang dan salah satu diantara pemilik budak memerdekakannya. Jika pihak yang
tudak memerdekakan adalah orang kaya maka bagian yang ia miliki dari buadak
tersebut ikut merdeka. Taghlib-seorang
istri menceraikan istrinya sekaligus menjatuhkan talaq pada wanita lain yang
bukan istrinya. Karena istri lebih
dominan maka talaq kepada istri berhukum sah meskipun bersamaan dengan wanita
yang bukan istrinya.
3.
Sisi yang dinilai batal harus
berfokus pada objek tertentu. Contoh: menentukan khiyar dalam jangka waktu
empat hari, maka secara keseluruhan diklaim batal, dan tidak ada pendapat yang
menyatakan bahwa khiyarnya sah dalam waktu tiga harinya saja.
4.
Potensial untuk dibagi. Contoh:
menjual barang yang majhul dan ma'lum. Maka hukumnya tidak sah secara
keseluruhan.
5.
Tidak bertentangan dengan izin
pemilik. Contoh: seseorang meminjam barang untuk digadaikan dan pihak pemberi
pinjaman menerima jaminan 100.000,-, akan tetapi peminjam menjadikannya jaminan
hutang 120.000,-, maka menuru t kesepakatan ulama' seluruh gadai ini berhukum
batal.
6.
Tidak terdapat dalam kasus-kasus
yang faktor pendorongnya adalah kehati-hatian. Seperi dalam masalah jual beli 'Aroya yang melebihi kadar yang diperbolehkan. Jika
melebihi jumlah yang dibutuhkan maka Bai'
'Aroya batal secara keseluruhan.
7.
Transaksi harus dilakukan secara
global, dan telah ditentukan dengan waktu tertentu. Contoh: jika seorang mu'jir
(orang yang menyewakan) menyatakan:"aku sewakan barang ini dengan
pembayaran sekian untuk setiap bulannya." dalam hal ini tidak ada
perbedaan pendapat antar ulama mengenai tidak sahnya akad tersebut secara
keseluruhan bulan.
8.
Salah satu objek yang berkumpul
dalam satu akad atau transaksi adalah perkara yang dapat di transaksikan.
Seperti perkataan seorang wali:"Aku nikahkan anak perempuanku dan anak
laki-lakiku" menurut madzhab Syfi'i, hukum pernikahan itu sah. Dalam
contoh ini terdapat objek yang sah untuk di transaksikan, yaitu anak perempuan.
Namun ada versi lain yang mengatakan bahwa kasus ini yang berlaku adalah aqad Tafriq
Al-Shufqoh.
Pengecualian
kaidah ini adalah :[10]
1. Diperblehkan melakukan ijtihad dalam beberapa bejana air
yang diragukan ada yang najis salah satunya.
2. Diperblehkan bagi laki-laki memakai pakaian yang terbuat
dari campuran sutra, lebih banyak dari sutranya.
3. Diperbolehkan memakan daging burung yang terjatuh setelah
dipanah dan mati seketika.
Beberapa
qoidah yang masuk dalam qoidah ini yaitu:
اِذا اجتمع فى العبادة جانب الحضر والسفر غلب جانب الحضر
“Jika dalam satu ibadah berkumpul antara sisi rumah dan sisi
perjalanan, maka yang dimenangkan adalah sisi rumahnya.”
Contoh: Apabila seseorang melakukan takbirotul ihrom dengan
niat qoshr, kemudian perahunya telah sampai pada daerah tempat tinggalnya, maka
dia harus menyempurnakan sholatnya. dengan alasan sisi rumah dinilai sebagai
hukum asal dalam pandangan syariat.
اذااجتمع المقتضى والمانع قدم المانع
“jika berkumpul antara perkara yang
menuntut dan mencegah, maka yang dimenangkan adalah perkara yang mencegah.”
Contoh: [11]
1.
Apabila ada orang mati syahid dalam
keadaan junub, maka hukumnya tetap tidak boleh dimandikan. Hal ini sesuai
dengan hadits Nabi: ادْفَنوهم فى دِمائهم “Kebumikan para
syuhada' itu beserta darah mereka”
2.
apabila waktu sholat telah sempit
atau airnya sedikit maka haram melakukan kesunnahan bersuci.
Pengecualian
dari qoidah ini adalah:[12]
Contoh:
1.
apabila berkkumpul antara mayitkafir
dan muslim, atau yang mati syahid dan yang bukann mati syahid maka hukumnya
wajib dimandikan semuanya apabila tidak bisa dibedakan antara mereka.
2.
Apabila wanita sedang melakukan
ihram kemudian dia akan melakkukan sholat, maka hukkumnya tetap wajib menutup
sebagian wajahnya.
3.
Bepergian sendirian bagi wanita
adalah haram, sedangkan lari dari negara orang kafir demi menjaga
keselamatannya adalah wajib, maka hukumnya adlah wajib lari walaupun sendirian.
QOIDAH KETIGA
الايثار بالقُرب مكروه
“Mendahulukan orang lain dalam
ibadah hukumnya makruh”
Lahirnya
qoidah ini berdasarkan hadits Nabi saw. Yang berbunyi:[13]
رواه مسلم
وغيره).( لَا يَزال قومٌ يتأخَّرون حتّى
يُاخِّرَهم الله
“Tidaklah suatu kaum mengakhirkan diri (dari barisan awal)
hingga Allah mengakhirkan mereka dari Rahmat-Nya”
Sebagian
ulama' berpendapat bahwa mengalah dalam urusan ibadah adalah Haram, sedangkan
Imam Suyuti memberikan tafsil (perincian), yaitu:[14]
1.
Apabila mengalahkan diri sendiri itu
menyebabkan tersia-sianya ibadah wajib, maka hukumnya haram. Contoh: seseorang
mempersilahkan orang lain menggunakan air atau menutup aurat, yang menyebabkan
dirinya sendiri melaksanakan sholat diluar waktunya.
2.
Apabila mengalahkan diri sendiri menyebabkan
meninggalkan kesunnahan atau melakukan kemakruhan, maka hukumnya adalah Makruh.
Contoh: mempersilahkan orang lain pada shof awal atau pindah dari tempat yanng
lebih jauh dari imam.
3.
Apabila mengalahkan diri sendiri
menyebabkan Khilaful Aula, maka
hukumnya Khilaful Aula. Contoh:
mempersilahkan orang lain melaksanakan sholat tahiyataul masjid.
Disamping pembagian di atas, itsar masih dibagi lagi
dalam klasifikasi hukum berikut:[15]
1.
Wajib, seperti memberikan minum
kepada orang lain yang kehausan. Sedangkan orang yang memiliki air tidak merasa
kehausan.
2.
Mubah, seperti mementingkan orang
lain yang tidak sedang membutuhkan bantuan.
3.
Sunnah, seperti ketika ada dua
oarang muslim yang sama-sama sangat membutuhkan air yang bukan dalam kerangka
ibadah, lalu salah satunya mendahulukan yang lain.
KAIDAH KEEMPAT
التابع تابع
"Perkara
yang mengikuti harus mengikuti"
Dalam
kaidah ini terdapat beberapa cabang, diantaranya :
التابع لا يفرد بالحكم لانه انما جعل تابعا
Perkara yang mengikuti idak boleh disendirikan dengan satu
hukum
Contoh
:[16]
•
Kandungannya hewan akan ikut terjual jika induknya dijual, karena kandungannya
mengikuti induknya.
•
Ulat yang keluar dari buah-buahan
boleh dimakan, apabila bersamaan dengan buahnya, dan tidak boleh dimakan
ulatnya saja.
التابع
يسقط بسقوط المنبوع
Perkara yang mengikuti menjadi
gugur sebab gugurnya perkara yang diikuti
Contoh :[17]
1.
Orang yang tertinggal sholatnya di
waktu gila, maka tidak disunahkan mengqodlo’ sholat sunah rowatibnya.
2.
Apabila orang yang berperang naik
kuda meninggal, maka gugurlah bagian kudanya, karena kuda adalah sebagai
pengikut.
Pengecualian dari kaidah ini adalah
:[18]
1. Orang yang terpotong tangannya tetap disunahkan membsuh
lengan yang tertinggal.
2. Orang yang terhalang membasuh wajah karena sakit, tetap
disunahkan memperpanjang basuhan leher.
التابع
لا يقدم على المتبوع
Perkara yang mengikuti tidak boleh mendahului perkara yang
diikuti
Contoh :[19]
•
Makmum tidak boleh mendahului imam
dalam takbirotul ihromnya, salam dan rukun-rukun sholat yang lain. Begitupula
makmum tidak boleh berdiri lebih maju dari tempat berdirinya imam.
Pengecualian dari kaidah ini adalah :
•
Apabila ada orang musafir, hamba
sahaya, atau kaum perempuan yang menghadiri sholat jum’at. Walaupun status
mereka tidak dapat menggenapkan bilangan 40 dalam sholat jum’at, namun mereka
diperbolehkan takbirotul ihrom terlebih dulu daripada para jama’ah kaum laki-laki
yang tidak musafir dan tidak budak, karena ikut kaidah : ما قارب الشيء يعطي حكمه
يغتفر
في التوابع ما لا يغتفر في غيرها
“Sesuatu yang apabila menjadi
pengikut maka diampuni dan apabila tidak menjadi pengikut maka tidak diampuni.”
Contoh
:[20]
•
Masalah serambi masjid, sebagai
tabi’ dari masjid, serambi masjid diperbolehkan untuk didiami orang yang sedang
junub atau wanita yang haid. Padahal apabila orang yang junub atau wanita yang
haid tersebut berdiam diri di dalam masjid, jelas tidak diperbolehkan (haram).
Namun karena hanya berdiam diri di serambi masjid (tabi’), maka masih
diperbolehkan dan diberi toleransi.
QOIDAH
KELIMA
تصرُّفُ الامامِ على الرَعِيّة منوطٌ بالمصلحة
“Kebijakan
seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemslahatan rakyat”
Sumber dari
qoidah ini adalah sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-an'am ayat 152:[21]
ولا
تقربُوا مال اليتيمِ الّا بالتى هي احسن
“Janganlah kamu sekalian mendekati (mengelola) harata anak
yatim kecuali dengan cara yang paling baik.”
secara
implisit ayat di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin memiliki posisi
seperti wali yatim. Hal ini juga berlandaskan suatu riwayat bahwa Khalifah
'Umar ra. Pernah menyatakan: “Dalam mengelola harta Allah swt. (Bayt al-Mal),
aku memposisikan diriku sebagaimana wali yatim. Apabila aku sangat membutuhkan,
aku akan menggunakan sekedar kebutuhan (hal ini diperbolehkan). Jika aku sudah
memperoleh kecukupan, aku akan mengembalikannya. Tapi bila tidak membutuhkan.
Aku tidak akan mengambilnya.[22]
contoh:[23]
1.
Seorang pemimpin tidak boleh mengangkat
imam sholat dari orang fasiq
2.
Seorang pemimpin tidak boleh melepas
jabatan bawahannya tanpa adanya sebab yang jelas.
[3]
Ibnu Husnan Masur, Tsamarotul Mardliyah, (Jomang:
Pustaka Almuhibbin, 2008), hlm. 94
[7]
Ibnu Husnan Masur, Tsamarotul Mardliyah, (Jomang:
Pustaka Almuhibbin, 2008). 101-103.
[10]
Ibnu Husnan Masur, Tsamarotul Mardliyah, (Jomang:
Pustaka Almuhibbin, 2008). 101-103.
[11]
Yahya Husnan Mansur, Tsamarotul Mardliyah, (Jombang:
Pustaka al-Muhibbin, 2009), hlm. 119
[13]
Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqih, ( Surabaya:
Khalista, 2006), hlm. 52
[15]
Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqih, ( Surabaya:
Khalista, 2006), hlm, 54-55
[16]
Yahya Husnan Mansur, Tsamarotul Mardliyah, (Jombang:
Pustaka al-Muhibbin, 2009), hlm. 127
[18]
Ibid.
[21]
Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqih, ( Surabaya:
Khalista, 2006), hlm. 77.
[22]
Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqih, ( Surabaya:
Khalista, 2006), hlm. 77.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar