Categories

Sabtu, 03 Mei 2014

Qo'idah Kulliyah



QOIDAH PERTAMA
الإجتهاد لا ينقض بالإجتهاد
"Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad"

            Ijtihad dalam istilah para fuqaha adalah mengerahkan segenap usaha dan kemampuan untuk mendapatkan hokum syara’ dari dalil-dalilnya yang syar’i.[1]ijtihad tidak boleh ( tidak bisa diubah ) dengan ijtihad yang lain, baik mengenai ibadah maupun tentang hal-hal yang lain. Dasar qaidah diantaranya adalah ijma’ sahabat, yaitu:[2]
         Riwayat Ibnu al-Shibah, yaitu:
“sesungguhnya Abu Bakar ra. ( yang saat itu sebagai khalifah ) memberikan keputusan hokum pada beberapa masalah, lalu di masa khalifah Umar ra. Diperselisihkan dan beliau ( Umar ) tidak membatalkan keputusan Abu Bakar ra dan tetap mengakuinya.
         Khalifah Umar bin Khatab pernah memberikan suatu keputusan hokum dua kali dalam masalah “ Pembagian harta warisan yang Musytarakah yang saling berbeda, dimana keputusan pertama berbeda dengan keputusan kedua, sehingga beliau ( Umar ) berkata demikian :
        تلك على ما قضينا و هذه على ما نقضي
Itu adalah yang telah kami putuskan pada masa terdahulu dan ini adalah yang kami putuskan pada masa sekarang.
Begitu juga keputusan beliau (Umar) terhadap hukum had dengan keputusan-keputusan yang berbeda-beda.Adapun contoh kaidah, adalah sebagai berikut :
1.      Apabila ada orang ijtihad kiblat untuk melakukan sholat dhuhur. Kemudian ijtihad yang kedua tidak sama dengan ijtihad yang pertama, maka sholat dzuhurnya tetap sah.
2.      Apabila ada orang sholat 4 rakaat dalam 4 arah kiblat karena berbeda-beda hasil ijtihadnya, maka sholatnya dianggap sah dan tidak wajib mengulanginya.[3]
Aplikasi kaidah diantaranya adalah apabila hakim menghukumi sesuatu, kemudian ijtihadnya berubah maka hukumnya yang pertama tidak dibatalkan. Akan tetapi, dia dapat menghukumi di masa yang akan datang dengan ijtihadnya yang baru, sebagaimana juga tidak diperbolehkan bagi hakim lain untuk mmembatalkan hokum hakim yang pertama, dengan alas an yang berbeda dengan pendapatnya. Karena, ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang semisal dengannya.[4]
Adapun pengecualian kaidah, diantaranya :[5]
1.      seorang imam boleh merubah bumi larangan imam sebelumnya. (حمى) adalah bumi yang tidak boleh dimiliki seserang seperti pasar, kebun raya, kuburan dan lain-lain.
2.      Pembagian untuk pembayaran hutang, ada saksi yang menyatakan salah pembagian.
3.      Prosentase harta warisan apabila ternyata ada yang lebih banyak atau lebih sedikit maka boleh dirubah.

QOIDAH KEDUA
اذا اجتمع الحلال و الحرام غلب الحرام
“Apabila berkumpul antara perkara yang halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah perkara yang haram”

Adapun dasar pijakan dari kaidah ini adalah sabda nabi saw .sebagai berikut:
ما اجتمع الحلال و الحرام الاّ غلب الحرام الحلال
“Tidaklah berkumpul halal dengan haram  kecuali haram itu mengalahkan yang halal.”
Sekalipun sanad alhadis ini lemah ,tetapi kaidahnya sendiri sudah benar dan tidak bertentangan dengan nash ( sebagaimana pandangan imam assubki),maka hadis tersebut tetap dapat dijadikan sebagai hujjah,sebab sesuai dengan perintah agama yaitu untuk selalu ihtiyat (hati-hati).[6]
Adapun contoh Dari kaidah ini diantaranya adalah :[7]
1.      Apabila ada dua dalil yang bertentangan salah satunya menerangkan haram,dan yang lain menerangkan halal maka yang dimenangkan adalah dalil yang menerangkan haram.
2.      Apabila ada hewan yang satu dari induknya halal dimakan dan induk yang lain haram dimakan maka hewan tersebut haram dimakan.
3.      Apabila ada pephnan yang sebagiannya ada ditanah halal dan yang lain ada ditanah haram maka berhukum haram untuk memotongnya. Termasuk dalam kaidah ini adalah tafriqu As-Shufqoh.
            Tafriq al-Shufqoh merupakan istilah yang dikenal dengan konteks permasalahan yang terjadi dalam transaksi jual beli, dimana terdapat satu akad yang terjadi atas dua barang yang halal dan haram, dan transaksi ini dilakukan secara bersamaan.Contohnya seperti menjual cuka dan khamr dalam satu akad.
            Dalam persoalan seperti ini kita temui terdapat dua pendapat.Qaul ashah (pendapat prioritas)menilai transaksi seperti berhukum sah, akan tetapi hanya pada barang yang halal. Sementara pada barang yang haram hukumnya tidak sah. Alasannya, masing-masing darang yang ditransaksikan adalah dua unsur yang berdiri sendiri: yang haram tetap haram dan yang halal tetap halal, sehingga transaksi pada barang yang halal hukumnya sah. Yang batal hanya pada barang yang haram saja.[8]
                        Sedangkan versi lain mengatakan batal semuanya, karena dalam kasus ini ada unsur percampuran unsur halal dan haram, sehingga yang lebih menghegemoni (syumul) adalah hukum haram.
Syarat-syarat  Tafriq al-Shufqoh[9]
1.      Tidak terjadi dalam lingkup ibadah. Jika terjadi dalam lingkup ibadah maka tidak akan ada pertententangan ulama'. Seperti zakat dua tahun yang dibayarkan pada tahun pertama, zakatnya dianggap sah pada tahun yang pertama saja, dan tahun kedua harus dikeluarkan ulang pada tahun berikutnya.
2.      Tidak terjadi dalam permasalahan yang memiliki aspek penjalaran-sirayah (implikatif)atau taghlib (dominasi). Contoh: sirayah- budak yang dimiliki oleh dua orang dan salah satu diantara pemilik budak memerdekakannya. Jika pihak yang tudak memerdekakan adalah orang kaya maka bagian yang ia miliki dari buadak tersebut ikut merdeka. Taghlib-seorang istri menceraikan istrinya sekaligus menjatuhkan talaq pada wanita lain yang bukan istrinya.  Karena istri lebih dominan maka talaq kepada istri berhukum sah meskipun bersamaan dengan wanita yang bukan istrinya.
3.      Sisi yang dinilai batal harus berfokus pada objek tertentu. Contoh: menentukan khiyar dalam jangka waktu empat hari, maka secara keseluruhan diklaim batal, dan tidak ada pendapat yang menyatakan bahwa khiyarnya sah dalam waktu tiga harinya saja.
4.      Potensial untuk dibagi. Contoh: menjual barang yang majhul dan ma'lum. Maka hukumnya tidak sah secara keseluruhan.
5.      Tidak bertentangan dengan izin pemilik. Contoh: seseorang meminjam barang untuk digadaikan dan pihak pemberi pinjaman menerima jaminan 100.000,-, akan tetapi peminjam menjadikannya jaminan hutang 120.000,-, maka menuru t kesepakatan ulama' seluruh gadai ini berhukum batal.
6.      Tidak terdapat dalam kasus-kasus yang faktor pendorongnya adalah kehati-hatian. Seperi dalam masalah jual beli 'Aroya  yang melebihi kadar yang diperbolehkan. Jika melebihi jumlah yang dibutuhkan maka Bai' 'Aroya batal secara keseluruhan.
7.      Transaksi harus dilakukan secara global, dan telah ditentukan dengan waktu tertentu. Contoh: jika seorang mu'jir (orang yang menyewakan) menyatakan:"aku sewakan barang ini dengan pembayaran sekian untuk setiap bulannya." dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat antar ulama mengenai tidak sahnya akad tersebut secara keseluruhan bulan.
8.      Salah satu objek yang berkumpul dalam satu akad atau transaksi adalah perkara yang dapat di transaksikan. Seperti perkataan seorang wali:"Aku nikahkan anak perempuanku dan anak laki-lakiku" menurut madzhab Syfi'i, hukum pernikahan itu sah. Dalam contoh ini terdapat objek yang sah untuk di transaksikan, yaitu anak perempuan. Namun ada versi lain yang mengatakan bahwa kasus ini yang berlaku adalah aqad Tafriq Al-Shufqoh.
Pengecualian kaidah ini adalah :[10]
1.      Diperblehkan melakukan ijtihad dalam beberapa bejana air yang diragukan ada yang najis salah satunya.
2.      Diperblehkan bagi laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari campuran sutra, lebih banyak dari sutranya.
3.      Diperbolehkan memakan daging burung yang terjatuh setelah dipanah dan mati seketika.
   Beberapa qoidah yang masuk dalam qoidah ini yaitu:
اِذا اجتمع فى العبادة جانب الحضر والسفر غلب جانب الحضر
“Jika dalam satu ibadah berkumpul antara sisi rumah dan sisi perjalanan, maka yang dimenangkan adalah sisi rumahnya.”
Contoh: Apabila seseorang melakukan takbirotul ihrom dengan niat qoshr, kemudian perahunya telah sampai pada daerah tempat tinggalnya, maka dia harus menyempurnakan sholatnya. dengan alasan sisi rumah dinilai sebagai hukum asal dalam pandangan syariat.
اذااجتمع المقتضى والمانع قدم المانع
“jika berkumpul antara perkara yang menuntut dan mencegah, maka yang dimenangkan adalah perkara yang mencegah.”
Contoh: [11]
1.      Apabila ada orang mati syahid dalam keadaan junub, maka hukumnya tetap tidak boleh dimandikan. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi:      ادْفَنوهم فى دِمائهم “Kebumikan para syuhada' itu beserta darah mereka”
2.      apabila waktu sholat telah sempit atau airnya sedikit maka haram melakukan kesunnahan bersuci.
Pengecualian dari qoidah ini adalah:[12]
Contoh:
1.      apabila berkkumpul antara mayitkafir dan muslim, atau yang mati syahid dan yang bukann mati syahid maka hukumnya wajib dimandikan semuanya apabila tidak bisa dibedakan antara mereka.
2.      Apabila wanita sedang melakukan ihram kemudian dia akan melakkukan sholat, maka hukkumnya tetap wajib menutup sebagian wajahnya.
3.      Bepergian sendirian bagi wanita adalah haram, sedangkan lari dari negara orang kafir demi menjaga keselamatannya adalah wajib, maka hukumnya adlah wajib lari walaupun sendirian.

QOIDAH  KETIGA
الايثار بالقُرب مكروه
            “Mendahulukan orang lain dalam ibadah hukumnya makruh”

            Lahirnya qoidah ini berdasarkan hadits Nabi saw. Yang berbunyi:[13]
رواه مسلم وغيره).( لَا يَزال قومٌ يتأخَّرون حتّى يُاخِّرَهم الله
       “Tidaklah suatu  kaum mengakhirkan diri (dari barisan awal) hingga Allah mengakhirkan mereka dari Rahmat-Nya”
          Sebagian ulama' berpendapat bahwa mengalah dalam urusan ibadah adalah Haram, sedangkan Imam Suyuti memberikan tafsil (perincian), yaitu:[14]
1.      Apabila mengalahkan diri sendiri itu menyebabkan tersia-sianya ibadah wajib, maka hukumnya haram. Contoh: seseorang mempersilahkan orang lain menggunakan air atau menutup aurat, yang menyebabkan dirinya sendiri melaksanakan sholat diluar waktunya.
2.      Apabila mengalahkan diri sendiri menyebabkan meninggalkan kesunnahan atau melakukan kemakruhan, maka hukumnya adalah Makruh. Contoh: mempersilahkan orang lain pada shof awal atau pindah dari tempat yanng lebih jauh dari imam. 
3.      Apabila mengalahkan diri sendiri menyebabkan Khilaful Aula, maka hukumnya Khilaful Aula. Contoh: mempersilahkan orang lain melaksanakan sholat tahiyataul masjid.
Disamping pembagian di atas, itsar  masih dibagi lagi dalam klasifikasi hukum berikut:[15]
1.      Wajib, seperti memberikan minum kepada orang lain yang kehausan. Sedangkan orang yang memiliki air tidak merasa kehausan.
2.      Mubah, seperti mementingkan orang lain yang tidak sedang membutuhkan bantuan.
3.      Sunnah, seperti ketika ada dua oarang muslim yang sama-sama sangat membutuhkan air yang bukan dalam kerangka ibadah, lalu salah satunya mendahulukan yang lain.

KAIDAH KEEMPAT
التابع تابع
"Perkara yang mengikuti harus mengikuti"

Dalam kaidah ini terdapat beberapa cabang, diantaranya :
التابع لا يفرد بالحكم لانه انما جعل تابعا
Perkara yang mengikuti idak boleh disendirikan dengan satu hukum
Contoh :[16]
         Kandungannya hewan akan ikut terjual jika induknya dijual, karena kandungannya mengikuti induknya.
         Ulat yang keluar dari buah-buahan boleh dimakan, apabila bersamaan dengan buahnya, dan tidak boleh dimakan ulatnya saja.
التابع يسقط بسقوط المنبوع
Perkara yang mengikuti menjadi gugur sebab gugurnya perkara yang diikuti
Contoh :[17]
1.      Orang yang tertinggal sholatnya di waktu gila, maka tidak disunahkan mengqodlo’ sholat sunah rowatibnya.
2.      Apabila orang yang berperang naik kuda meninggal, maka gugurlah bagian kudanya, karena kuda adalah sebagai pengikut.
Pengecualian dari kaidah ini adalah :[18]
1.      Orang yang terpotong tangannya tetap disunahkan membsuh lengan yang tertinggal.
2.      Orang yang terhalang membasuh wajah karena sakit, tetap disunahkan memperpanjang basuhan leher.
التابع لا يقدم على المتبوع
Perkara yang mengikuti tidak boleh mendahului perkara yang diikuti
Contoh :[19]
         Makmum tidak boleh mendahului imam dalam takbirotul ihromnya, salam dan rukun-rukun sholat yang lain. Begitupula makmum tidak boleh berdiri lebih maju dari tempat berdirinya imam.
Pengecualian dari kaidah ini adalah :
         Apabila ada orang musafir, hamba sahaya, atau kaum perempuan yang menghadiri sholat jum’at. Walaupun status mereka tidak dapat menggenapkan bilangan 40 dalam sholat jum’at, namun mereka diperbolehkan takbirotul ihrom terlebih dulu daripada para jama’ah kaum laki-laki yang tidak musafir dan tidak budak, karena ikut kaidah : ما قارب الشيء يعطي حكمه
يغتفر في التوابع ما لا يغتفر في غيرها
Sesuatu yang apabila menjadi pengikut maka diampuni dan apabila tidak menjadi pengikut maka tidak diampuni.
Contoh :[20]
         Masalah serambi masjid, sebagai tabi’ dari masjid, serambi masjid diperbolehkan untuk didiami orang yang sedang junub atau wanita yang haid. Padahal apabila orang yang junub atau wanita yang haid tersebut berdiam diri di dalam masjid, jelas tidak diperbolehkan (haram). Namun karena hanya berdiam diri di serambi masjid (tabi’), maka masih diperbolehkan dan diberi toleransi.
QOIDAH KELIMA
تصرُّفُ الامامِ على الرَعِيّة منوطٌ بالمصلحة
“Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemslahatan rakyat”

Sumber dari qoidah ini adalah sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-an'am ayat 152:[21]
ولا تقربُوا مال اليتيمِ الّا بالتى هي احسن
“Janganlah kamu sekalian mendekati (mengelola) harata anak yatim kecuali dengan cara yang paling baik.”
secara implisit ayat di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin memiliki posisi seperti wali yatim. Hal ini juga berlandaskan suatu riwayat bahwa Khalifah 'Umar ra. Pernah menyatakan: “Dalam mengelola harta Allah swt. (Bayt al-Mal), aku memposisikan diriku sebagaimana wali yatim. Apabila aku sangat membutuhkan, aku akan menggunakan sekedar kebutuhan (hal ini diperbolehkan). Jika aku sudah memperoleh kecukupan, aku akan mengembalikannya. Tapi bila tidak membutuhkan. Aku tidak akan mengambilnya.[22]
contoh:[23]
1.      Seorang pemimpin tidak boleh mengangkat imam sholat dari orang fasiq
2.      Seorang pemimpin tidak boleh melepas jabatan bawahannya tanpa adanya sebab yang jelas.


[1] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz,(Jakarta: pustaka  al-Kautsar, 2008), hlm: 35
[2] Muhammad Ma’sum Zainy Al-Hasyimiy, Teori Hukum Islam, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), hlm: 93
[3] Ibnu Husnan Masur, Tsamarotul Mardliyah, (Jomang: Pustaka Almuhibbin, 2008), hlm. 94
[4] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz,(Jakarta: pustaka  al-Kautsar, 2008), hlm: 39
[5] Opcit, hlm. 95-96
[6] Muhammad Ma’sum Zainy Al-Hasyimiy, Teori Hukum Islam, (Jombang: Darul Hikmah, 2008) hlm.96.
[7] Ibnu Husnan Masur, Tsamarotul Mardliyah, (Jomang: Pustaka Almuhibbin, 2008). 101-103.
[8] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqih, ( Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 46-47.
[9] Ibid, hlm. 47-49
[10] Ibnu Husnan Masur, Tsamarotul Mardliyah, (Jomang: Pustaka Almuhibbin, 2008). 101-103.
[11] Yahya Husnan Mansur, Tsamarotul Mardliyah, (Jombang: Pustaka al-Muhibbin, 2009), hlm. 119
[12] Ibid, hlm. 119-120.
[13] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqih, ( Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 52
[14] Opcit, hlm. 122.
[15] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqih, ( Surabaya: Khalista, 2006), hlm, 54-55
[16] Yahya Husnan Mansur, Tsamarotul Mardliyah, (Jombang: Pustaka al-Muhibbin, 2009), hlm. 127
[17] Ibid, hlm.128
[18] Ibid.
[19] Ibid, hlm.129
[20] Ibid, hlm. 130.
[21] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqih, ( Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 77.
[22] Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqih, ( Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 77.
[23] Ibid,hlm. 134

Tidak ada komentar:

Posting Komentar