A.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Dalam
surat Al-Baqarah:106 Para ulama’ ulum al-Qur,an mengemukakan pengertian nasikh
secara etimologi ke dalam beberapa makna diantaranya adalah:[1]
- Berarti الازاله, yaitu “menghilangkan”. Ma.na ini merujiuk pada firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 52. Di samping itu orang arab sering menggunakan kata tersebut dalam berbicara. Misalnya dengan arti menghilangkan melenyapkan atau menghapus.
- Kata nasakh dapat berarti: نقل الشئ من موضع الى موضع اخر . Maksudnya: Memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Pengertian ini merujuk pada firman Allah surat Al-Jatsiat ayat 45.
- Kata nasakh dapat berarti تبديل yaitu; “mengganti atau menukar”. Dapat disimak dalam firman Allah an- Nahl:101
- Kata nasakh dapat berarti الا بطال yaitu; Membatalkan atau التغيير “mengubah”. Sesuatu yang menghapus, membatalkan, memindahkan dan sebagainya disebut nasakh sedangkan yang dihapus adalah mansukh.
Secara
terminologi nasikh dapat dikemukakan beberapa definisi sebagaimana yang dikemukakan
oleh para ulama berikut ini :
a.
Menurut Manna’ Al-Qaththan nasakh adalah
رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithob (dalil) syara’ yang lain.[2]
b.
Menurut M. Abdul azhim al-Zarqany :
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي
متاخر
Mengangkat
atau menghapus hukum syara’ dengan hukum syara’ yang lain yang datang kemudian.[3]
Para
ulama mutaqoddimin memperluas pengertian nasakh secara terminologi sehingga
mencakup beberapa hal:[4]
a.
Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan
kemudian
b.
Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusuh
yang datang kemudian.
c.
Penjelasan hukum yang datang kemudian terhadap hukum yang masih bersifat
samar.
d.
Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Adapun
syarat-syarat nasakh sebagai berikut:
1.
Hukum yang mansukh adalah hukum syara’.
2.
Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitob syar’i yang datang lebih
kemudian dari khitob yang hukumnya di mansukh.
3.
Khitob yang dimansukhkan atau yang diangkat hukumnya tidak terikat
(dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan
berakhirdengan berakhirnya waktu tersebut, dan yang demikian tidak dinamakan
nasakh.
B.
Pembagian dan Macam-macam Naskh.
Nasakh
terbagi menjadi empat bagian:
1.
Nasakh al-Quran dengan al-Quran.
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah
terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adnya nasakh. Misalnya ayat
tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
Ø
Seperti masalah ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dengan
memberi nafkah selama satu tahun (QS. Al-Baqoroh :240) , kemudian dinasakh
hanya dengan empat bulan sepuluh hari (QS. Al-Baqoroh:234).[5]
2.
Nasakh al-Quran dengan sunnah.
a.
Nasakh al-Quran dengan hadits ahad.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa Quran tidak
boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Qur an adalah mutawatir dan menunjukkan
yaqin. Sedangkan hadits ahad adalah dzanni dan bersifat dugaan, disamping
tidaksah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang madznun
(diduga).
b.
Nasakh Qur an dengan hadits mutawatir.
Nasakh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Abu
Hanifah, dan Imam Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu.
Ø
Seperti Masalah wasiat kepada ahli waris:[6]
...كتب عليكم اذا حضراحدكم
الموت ان ترك خيرا الوصية للوالدين والاقربين با لمعروف
Artinya:
atas kamu apabila seseorang di antara kamu meninggal dunia apabila ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan kerabatnya secara baik. (QS.
Al-Baqoroh:180).
Kemudian dinasakh dengan hadits:
-لاوصية لوارث
Tidak ada wasiat untuk ahli waris.
3.
Nasakh sunnah dengan al-Quran.
Inidibolehkan
oleh jumhur. Misalnya, masalah menghadap ke baitul maqdis yang di tetapkan
dengan sunnah dan didalam quran tidak terdapat dalil yang menunjukkannya.
Ø
Seperti dalam kenyataan terjadi peristiwa perpindahan kiblat dari Masjid
Baitul Maqdis (Palestina) ke Ka’bah (Masjidil Haram).[7]
فول وجهك شطرالمسجد
الحرام (البقرة:144)
4.
Nasakh sunnah dengan sunnah.
Dalam kategori ini terdapat empat bentuk
a.
Nasakh mutawatir dengan mutawatir.[8]
كنت نهيتكم عن زيا رة
القبرفزورها (رواه المسلم)
b.
Nasakh Ahad dengan ahad.
c.
Nasakh ahad dengan mutawatir.
d.
Nasakh mutawatir dengan ahad.
Tiga
bentuk pertama dibolehkan sedangkan pada bentuk ke empat terjadi perbedaan
pendapat seperti halnya nasakh al-Quran dengan hadits ahad, yang tidak
dibolehkan oleh jumhur ulama.
Dilihat
dari segi macamnya yang termuat di dalam al-Qur’an menurut jumhur ulama’,
nasakh dibedakan menjadi tiga macam kategori :[9]
1.
Ayat yang bacaan dan hukumnya dinasakh.[10]
كان فيما انزل عشررضعاة
معلومات يحرمن فنسخن بخمس معلومات. فتوفي رسول الله صل الله عليه وسلم: وهن مما
يقراء من القران.
Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak
dibenarkan untuk dibaca dan tidak di benarkan untuk di amalkan.
2.
Ayat yang bacaannya dinasakh, sedangkan hukumnya tetap.
الشيخ والشيخة اذا زنيا فا
جمو هما البتة نكالا من الله والله عليم حكيم
3.
Ayat yang bacaannya tetap, sedangkan hukumnya dinasakh.
Seperti masalah ‘iddah wanita yang ditinggal
mati suaminya dengan memberi nafkah selama satu tahun (QS. Al-Baqoroh :240) ,
kemudian dinasakh hanya dengan empat bulan sepuluh hari (QS. Al-Baqoroh:234)
C.
Hikmah adanya Nasikh.
Syariat
islam datang untuk menyempurnakan syariat yang datang sebelumnya. Hal ini menunjukkan
keutamaan dan kesempurnaan agama islam. Syariat Nabi Muhammad SAW. Secara
langsung telah menasakhkan syariatyang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Alasan
yang jelas adalah bahwa tuntutan kebutuhan manusia terus berkembang sesuai
dengan tengkat perkembangan keadaan masing-masing.
Hikmah-hikmah
yang dapat ditarik dari adanya nasikh
ini antara lain:[11]
1.
Hukum nasikh lebih berat dari mansukh.
Sebagai alasan adanya nasakh yang membawa hukum
yang lebih berat bertujuan untuk membawa umat ke derajat yang lebih tinggi
akhlaq dan tingkat peradapannya.
2.
Hukum nasikh lebih ringan dari mansukh.
Hikmah dari jenis kedua ini bertujuan untuk
memberikan keringanan pada pada hamba-Nya dan menunjukkan karunia Allah Ta’ala
dan rahmat-Nya. Dengan demikian, hamba-Nya dituntut untuk memperbanyak bersyukur, memuliakan dan
mencintai agama-Nya.
3.
Hukum nasikh sama beratnya dengan mansukh.
Disini tidak menunjukkan mana yang lebih ringan
atau berat. Para ulama menafsirkan hikmahnya untuk menjadi cobaan bagi
hamba-Nya sekaligus menjadi pemberitaan untuk menguji siapa diantara mereka
yang betul-betul beriman. Siapa yang beriman berarti dia akan selamat dan siapa
yang menjadi munafik. Pemisahan antara yang betul-betul beriman menjadi faktor
utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar