Categories

Jumat, 04 April 2014

Sepuluh Qoidah I'lal


  • QO’IDAH  PERTAMA[1]

Apabila ada واو atau ياء  berharokat jatuh setelah harokat fathah yang sambung dalam satu kalimat maka ياء atau  واوdi ganti dengan  الف .

Contoh:

 صَانَ  asalnya صَوَنَ  ikut wazan  فَعَلَ
    بَاعَ              asalnya   بَيَعَ    ikut wazan  فَعَلَ
    طَارَ           asalnya  طَيَرَ   ikut wazan  فَعَلَ

Syarat-syarat Wawu dan Ya’ di ganti Alif:[2]

  1. Wawu dan Ya’ harus berharokat.
    Jika ke dua lafadh tersebut tidak berharokat (bersukun) maka tidak boleh diganti alif. Seperti:  قَوْلٌ     dan     بَيْعٌ.
  2. Berharokat asal.
    Jika wawu dan ya’ tidak berharokat asal maka tidak boleh diganti alif. Contoh:

  1. جَيَلَ dan      تَوَمَ      asalnya جَيْأَلَ   dan   تَوْأَمَ , harokat hamzah yang berupa fathah dipindah pada wawu dan ya’, kemudian hamzah dibuang untuk meringankan bacaan.
  2. وَلَاتَنْسَوُالْفَضْلَ , Wawu dhomir jama’ asalnya tidak berharokat, kemudian diharokati dhommah untuk menghindari bertemunya dua huruf mati.

  1. Terletak setelah harokat fathah.
    Jika tidak jatuh setelah harokat fathah maka tidak boleh diganti Alif. Seprti lafadh حِيَلٌ     dan    عِوَضٌ.
  2. Harokat fathahnya bertemu langsung dalam satu kalimat.
    Jika fathahnya tidak bertemu langsung dengan wawu dan ya’ , tetapi ada yang memisah atau pada kalimat lain maka tidak boleh diganti Alif.
     Seperti: اِنَّ أَحْمَدَ وَجَدَ يَزِيْدٌ
     

  • QO’IDAH KE DUA[3]

Apabila ada واو atau ياء  berharokat yang jatuh pada عين فعل (Bina’ Ajwaf) dan huruf sebelumnya merupakan huruf shohih yang mati maka harokat واو atau ياء  dipindah pada huruf sebelumnya.

Contoh:

           يَصُوْنُ asalnya يَصْوُنُ ikut wazan   يَفْعُلُ

يَقُوْمُ  asalnya  يَقْوُمُ  ikut wazan يَفْعُلُ

يَضِيْقُ  asalnya يَضْيِقُ  ikut wazan يَفْعِلُ

Syarat-syarat pemindahan:

  • Jika berupa kalimat fi’il maka syaratnya ada tiga:[4]

  1. Bukan merupakan fi’il Ta’ajub, Yaitu yang menunjukkan ma’na kagum. Fi’il ini memiliki dua wazan, yaitu  مَا اَفْعَلَ   dan   اَفْعِلْ بِهِ  .
    Contoh:

  1.   مَااَقْوَمَ الشَئَ = sungguh mengagumkan, kemampuannya memberdirikan perkara     .
  2. اَقْوِمْ بِهِ           = saya kagum atas berdinya sesuatu.

Fiil ta’ajub tidak dipindah harokatnya huruf  lain pada huruf shohih sebelumnya karena disamakan dengan Af’alu tafdlil;  اَبْيَضٌ  (lebih putih). Af’alu tafdlil ini tidak dipindah harokatnya karena takut ada keserupaan dengan kalimat lain. Misalnya: اَبْيَضٌ  kemudian diganti alif menjadi   اَبَاضٌ   kemudian hamzah dibuang. Karena sudah tidak dibutuhkan menjadi  بَاضٌّ . yang demikian menyerupai isim fail dari masdar بِضَاضَةٌ .

  1. Lafadznya tidak seperti إِبْيَضَّ
    Lafadz إِبْيَضَّ  jika di I’lal maka prosesnya akan menjadi بَاضٌّ . sehingga akan menyerupai isim fail dari masdar بِضَاضَةٌ .
  2. Lafadznya bukan seperti lafadz اَهْوَى.
    Suatu lafadz jika harokatnya dipindah maka akan menyebabkan terjadinya dua I’lal dalam satu kalimat dan tidak ada pemisah).
    Misalnya; اَهْوَى   asalnya  اَهْوَيَ  ya’ diganti alif menjadi  اَهْوَى,  lalu harokatnya wawu  dipindah pada huruf sebelumnya         هاوَى kemudian  wawu diganti alif menjadi  أَهَاى.
     

  • QO’IDAH KE TIGA[5]

     Apabila ada واو atau ياء  jatuh setelah الف زائدة  (alif tambahan) maka واو atau ياء   diganti dengan همزة, dengan syarat apabila واو atau ياء  tersebut merupakan عين فعل (Bina’ Ajwaf)nya  isim fa’il atau berada pada akhir kalimat isim masdar.

               Contoh:

                                    صَائِنٌ  asalnya  صَاوِنٌ  ikut wazan  فَاعِلٌ

  تَائِبٌ                                asalnya   تَاوِبٌ   ikut wazan  فَاعِلٌ

                               ضَائِقٌ asalnya  ضَايِقٌ  ikut wazan  فَاعَلٌ

                               كِسَاءٌ   asalnya  كِسَاوٌ   ikut wazan   فِعَالٌ

                               بِنَاءٌ    asalnya   بِنَايٌ  ikut wazan   فِعَالٌ
                              زِنَاءٌ     asalnya   زِنَايٌ  ikut wazan   فِعَالٌ

  • QO’IDAH KE EMPAT[6]

Apabila ada واو  danياء   berkumpul dalam satu kalimat dan salah satunya berharokat sukun maka واو  digantiياء  . Kemudian ياء   pertama diidghomkan pada ياء  kedua.

       Contoh:

                   مَرْمِيٌّ   asalnya    مَرْمُوْيٌ  ikut wazan  مَفْعُوْلٌ
     مَرْضِيٌّ                   asalnya  مَرْضُوْيٌ  ikut wazan مَفْعُوْلٌ

    مَسْرِىٌّ               asalnya   مَسْرُوْىٌ  ikut wazan  مَفْعُوْلٌ

Syarat-syarat pergantian:[7]

  1. Ittisshol ( bertemu langsung)
    Jika tidak bertemu langsung , akan tetapi ada huruf yang memisah antara wawu dan ya’ maka wawu tidak boleh diganti ya’.
    Contoh: زَيْتُوْنٌ
  2. Di dalam satu kalimat
    Jika berkumpul wawu dan ya’ tetapi tidak dalam satu kalimat, maka wawu tidak diganti ya’
    Contoh: يَدْعُوْ  يَاسِرُ    ,           يَرْمِىْ  وَاعِدٌ 
  3. Huruf yang dahulu mati
    Jika huruf yang mendahului berharokat, maka wawu tidak diganti ya’.
    Contoh: غَيُوْرٌ , طَوِيْلٌ
  4. Sepi dari hal-hal yang baru datang (sesuatu yang tidak asal)
    Dalam hal ini mencakup dua hal, yaitu:

  1. Sukunnya huruf yang mendahului merupakan sukun asli,
    Jika bukan merupakan sukun asli, maka wawu tidak diganti ya’.
    Contoh: قَوْىَ
    Yang merupakan hasil membaca tahfif (meringankan) pada lafadz قَوِيَ
  2. Huruf yang mendahului berupa huruf asli (bukan pergantian)
    Jika huruf yang mendahului berupa huruf pergantian, maka wawu tidak diganti ya’.
    Contoh: رُوْيَةٌ
    Yang merupakan hasil membaca tahfif pada lafadz رُؤْيَةٌ

ALASAN PERGANTIAN[8]

Wawu diganti ya’, dengan tujuan supaya bisa diidghomkan, sehingga pengucapannya menjadi ringan. Sedang dalam mengganti huruf tidak dibalik dengan mengganti ya’ menjadi wawu, hal ini karena ada dua sebab:

  1. Karena ya’ itu hukumnya lebih ringan dibanding wawu, sedangkan menetapkan perkara yang ringan itu lebih utama.
  2. Karena jika ya’nya diganti wawu akan menimbulkan keserupaan antara lafadz yang huruf asalnya ya’ dengan lafadz yang huruf asalnya wawu. Seperti lafadz:   مَغْزُوٌّdan  مَرْمِىٌّ(karena   مَغْزُوٌّ akan di ucapkan   مَغْزِىٌّ )

  • QO’IDAH KE LIMA[9]

Apabila ada واو atau ياء  terletak di akhir kalimat dan berharokat dlommah maka واو atau ياء  tersebut disukun.

        Contoh:

                              يَغْزُوْ  asalnya  يَغْزُوُ  ikut wazan  يَفْعُلُ

                         يَرْمِىْ  asalnya  يَرْمِىُ  ikut wazan  يَفْعُلُ

                        يَرْجُوْ   asalnya  يَرْجُوُ  ikut wazan  يَفْعُلُ

 

  • QO’IDAH KE ENAM[10]

Apabila ada واو  terletak pada urutan ke empat atau lebih yang di akhir kalimat dan huruf sebelumnya bukan berharokat dhommah maka di ganti dengan ياء .

Contoh:
         يَقْوَى    asalnya   يَقْوَوُ   ikut wazan  يَفْعَلُ

    يَرْضَىasalnyaيَرْضَوُ  ikut wazan  يَفعَلُ

   مُعْتَدًى  asalnya مُعْتَدَوٌ  ikut wazan  مُفْتَعَلٌ

  • QO’IDAH KE TUJUH[11]

    Apabila ada     واوterletak di antara harokat fathah dan kasroh yang nyata dan sebelumnya berupa huruf mudhori’ah maka  واو  harus dibuang.

Contoh:

               يَعِدُ     asalnya   يَوْعِدُ   ikut wazan  يَفْعِلُ              
يَقِفُ                          asalnya   يَوْقِفُ   ikut wazan يَفْعِلُ     
   يَصِلُ                      asalnya     يَوْصِلُ ikut wazan يَفْعِلُ

Adapun pembuangan wawu pada  بناءمثال  ini terjadi pada fi’il mudhore’ dan fi’il amar ketika[12]:

  1. Fi’il mudhore’ yang ain fi’ilnya dikasroh.
  2. Fi’il madhi dan mudhore’nya di fathah ain fi’ilnya.
    Contoh:1.  رِثْ يَرِثُ -         , يَعِدُ - عِدْ      2. يَضَعُ -  ضَعْ , يَهَبُ - هَبْ   

  • QO’IDAH DELAPAN[13]
    Apabila ada واو  jatuh setelah harakah Kasrah dalam Kalimah Isim atau Kalimah Fi’il, maka واو tersebut harus diganti ياء.

Contoh:

                  رَضِيَ  asalnya رَضِوَ  ikut wazan  فَعِلَ
          غَازٍ                       asalnya  غَازِوٌ ikut wazan  فَاعِلٌ

  • QO’IDAH KE SEMBILAN[14]
    Apabila ada واو atauياء   sukun, bertemu dengan huruf sukun lainnya, maka    واو atau ياء   tersebut dibuang, (ini setelah memindahkan harakah keduanya, kepada huruf sebelumnya, lihat kaidah I’lal ke 2).
    Contoh:
                            صُنْ  asalnya     اُصْوُنْ  ikut wazan  اُفْعُلْ
                         سِرْ   asalnya     اِسْيِرْ    ikut wazan  اِفْعِلْ
                        خَفْ  asalnya  اِخْوَفْ   ikut wazan  اِفْعَلْ
    Adapun Bina’ ajwaf  juga dibuang huruf ilatnya ketika berupa fiil  yang bertemu dengan dlomir rofa’ mutaharrik dan fiil mudlori’ yang bertemu dengan nun jama’ inas. Contoh : قُلْتُ       قُلْتُمْ      قُلْنا تَقُلْنَ     يَقُلْنَ
    Dengan ketentuan fiil madli yang bertemu dengan dlomir rofa’ mutaharrik tersebut apabila mengikuti wazan فَعَلَ يَفْعُلُ binaknya ajwaf wawi maka didlommah awalnya. Contoh : قُلْتُ . Sedangkan apabila fiil madli mengikuti wazan فَعَلَ يَفْعُلُ binaknya ajwaf ya’i dan fiil madly mengikuti wazan فَعِلَ يَفْعَلُ maka dikasroh awalnya.[15]
  • QO’IDAH KE SEPULUH[16]
    Apabila ada dua huruf sejenis atau hampir sama makhrajnya berkumpul dalam satu kalimah, maka huruf yang pertama harus di-idghamkan pada huruf yang kedua. Hal ini setelah menjadikan huruf yang hampir sama makhrajnya serupa dengan huruf yg kedua (lihat kaidah i’lal ke 18 insyaallah)–, karena beratnya pengulangan.
    Contoh:
                                 مَدَّ       asalnya       مَدَدَ ikut wazan  فَعَلَ
       يَعِزُّ                           asalnya   يَعْزِزُ   ikut wazan  يَفْعِلُ
        اِتَّصَلَ                       asalnya اِوْتَصَلَ ikut wazan   اِفْتَعَلَ
    Hukum idghom ada 3:[17]

  1. Wajib idghom.

  1. Tanpa syarat: apabila ada 2 huruf sejenis, huruf yang pertama disukun sedang huruf yang kedua berharokat maka harus diidghomkan. Contoh: مَدًّا  asalnya مَدْدًا.
  2. Dengan syarat: apabila ada huruf sejenis baik berharokat sama ataupu berbeda, maka cara idghomnya yang pertama disukun kemudian diidghomkan. Contoh:            مَدًّ   asalnya  مَدَدَ
                                                عَضَّ   asalnya  عَضِضَ
  3. Dengan memindah harokat: apabila ada 2 huruf sejenis baik berharokat sama maupun berbeda sedangkan huruf sebelumnya berupa huruf shohih yang disukun, maka harus ditukar atau dipindah harokatnya. Contoh:        يَمُدَّ          asalnya       يَمْدُدُ
                                                  يَفِرُّ        asalnya      يَفْرِرُ

  1. Mumtani’ul Idghom, yaitu apabila ada 2 huruf yang sejenis, huruf yang pertama berharokat sedangkan huruf yang kedua disukun. Contoh:

  1. Pada fiil madli yang bertemu dlomir rofa’ mutaharrik.
    Seperti: مَدَدْناَ
  2. Fiil mudlori’ bertemu nun jama’ inast (Red.).
    seperti: تَمْدُدْنَ ,  يَمْدُدْنَ
  3. fiil amar bertemu nun jama’ inast (Red.).
     Seperti: أمْدُدْنَ,لِيَمْدُدْنَ

  1. Jaizul Idghom, boleh diidghomkan atau tidak diidghomkan bertempat pada fiil mudlori’ atau fiil amar dengan syarat:

  1. Dijazemkan.
  2. Menunjukkan dlomirnya  هُوَ,  هِىَ, أنْتَ , أَناَ danنَحْنُ
  3. (1)Apabila ain fiil mudlori’nya didlommah, maka harokat lam fiilnya boleh didlommah, difathah, atau dikasroh. (2)Sedangkan jika ain fiilnya difathah atau dikasroh maka harokat lam fiilnya boleh difathah atau dikasroh.
    Contoh;(1)  لَمْ يَمُدَّ/ لَمْ يَمُدُّ/  لَمْ يَمُدِّ asalnya لَمْ يَمْدُدْ.
               (2)لَمْ يَفِرَّ   /لَمْ يَفِرِّ  asalnya لَمْ يَفْرِرْ

 

SKEMA I'LAL



Qo’idah
Illat
Sebab
I’lal
Contoh
1.
 
و/ي
 
Ba’da fathah
Diganti alif
صَانَ
2.
Ba’da huruf sohih mati
Pindah harokat
يَقُوْمُ
 
3.
Ba’da alif za’idah
اسم فاعل
Diganti   ء
صَائِنٌ
اسم مصدر
كِسَاءً
4.
و &  ي
Berkumpul, yg 1di sukun
و diganti ي , diidghomkan
مَرْمِيٌّ
5.
و/ي
Di akhir  & didhommah
disukun
يَغْزُوْ
 
6.
 
 
 
      و
Urutan ke 4/lebih, di akhir sebelumnya bukan dhommah.
 
و diganti ي
 
يَقْوَى
 
7.
Antaraـَــِ  ba’da huruf mudhoro’ah.
Dibuang
يَعِدُ
 
8.
Ba’da kasroh
اسم
و diganti ي
رَضِيَ
فعل
غَازٍ
9.
و/ي
Bertemu huruf mati
Dibuang
صُنْ
10.
2حروف
Sejenis/berdekatan makhroj.
diidghomkan
مَدَّ



[1] Mundzir Nadzir, Qowa’idul I’lal, (Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladahu). Hal. 7
[2] M. Sholehuddin Shofwan, Mabadi’ Ash-Shorfiyyah, (Jombang: Darul Hikmah). Hal. 38
[3] Opcit. Hal. 8
[4] M. Sholehuddin Shofwan, Mabadi’ Ash-Shorfiyyah, (Jombang: Darul Hikmah). Hal. 42
[5] Mundzir Nadzir, Qowa’idul I’lal, (Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladahu). Hal. 9
[6] Ibid. Hal. 10
[7] M. Sholehuddin Shofwan, Mabadi’ Ash-Shorfiyyah, (Jombang: Darul Hikmah). Hal. 99-100
[8] Ibid. Hal 100
[9] Mundzir Nadzir, Qowa’idul I’lal, (Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan wa Auladahu). Hal. 11
[10] Ibid. Hal 11
[11] Ibid. Hal. 13
[12] Syeh Musthofa Al Gholayaini, jami’uddurus al Arabiyyah, (Bairut:Darul Bayan, 2008). hal 178
[13] Opcit. Hal 14
[14] Ibid. Hal. 14
[15] Syeh Musthofa Al Gholayaini, jami’uddurus al Arabiyyah, (Bairut: Darul Bayan, 2008). hal 178-179
[16] Opcit. Hal. 15
[17] Muhtarom Busyro, Shorof praktis “metode krapyak”, (Jokjakarta: Putra menara, 2007). Hal 201-204

Tidak ada komentar:

Posting Komentar