- Visi Pendidkan Abad 21 Menurut UNESCO.Dalam pelaksanaan, maka proses pendidikan Agama Islam di lingkungan keluarga maupun sekolah berlangsung antara orang-orang dewasa yang bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan agama dan anak-anak sebagai sasaran pendidikan. Dalam pelaksanaannya, pendidikan semestinya memiliki tujuan yang menjadi kiblat dalam proses pelaksanaan belajar mengajar yang telah di sesuaikan dengan pertimbangan sebagaimana era globalisasi sa’at ini.Kiranya sangat perlu bagi seorang pendidik untuk mengetahui Visi Pendidikan menurut UNESCO yang telah di setting menjadi formulasi yang relevan bagi pendidikan untuk menghadapi kuatnya persaingan peradapan abad 21 ini. Adapun Visi Pendidikan abad 21 menurut UNESCO memiliki empat pilar[1]:
- Learning to Think atau Learning to Know (Belajar Bagaimana Berfikir atau Belajar Mengetahui).
- Learning to Do (Belajar Hidup atau Belajar Bagaimana Berbuat atau Bekerja).
- Learning to Be (Belajar Bagaimana Tetap Hidup atau Sebagai Dirinya).
- Learning to Life Together (Belajar untuk Hidup Bersama).
- Keterkaitan Visi Pendidikan Abad 21 Menurut UNESCO dengan Ajaran Islam.
Jika nilai-nilai universal yang mempunyai akar
landasan dari ajaran agama tidak di amalkan oleh pemeluknya berarti ada sesuatu
yang salah. Mungkin metode pengajarannya atau bahkan pemahamannya sehingga
perlu diinterpretasikan ke dalam ajaran islam.
Berikut adalah uraian keterkaitan empat
dasar visi UNESCO tersebut sebagai berikut:
- Learning to Think atau Learning to Know (Belajar Bagaimana Berfikir atau Belajar Mengetahui).Dalam kaitan ini banyak ayat al-Qur’an menekankan derajat akal, intelektualitas dan proses berfikir, bersikap dan berbuat dengan iman dan amal saleh. Antara lain al-Qur’an sering menyebut ulul albab dan ulul abshor yaitu orang-orang yang berfikir dan mempunyai ilmu pengetahuan yang tentunya tidak terlepas dari keesaan dan kebesaran Allah SWT.[2]Allah SWT senantiasa mengajak manusia untuk berfikir, merenungkan kehidupan dan alam semesta. Sebagaimana firman-Nya:Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imron: 190-191).
Dari
ayat tersebut Nampak bahwa Allah SWT menganjurkan manusia untuk menggunakan
akal budi dan pikirannya dengan baik dalam memahami berbagai realitas kehidupan
dan alam semesta, yang nantinya akan kembali kepada suatu pertanggungjawaban
manusia terhadap hidup dan kehidupannya di akhirat.[3]
- Learning to Do (Belajar Hidup atau Belajar Bagaimana Berbuat atau Bekerja).
Agama
islam banyak menyebutkan perintah Allah kepada hambanya agar beramal lebih
sholeh (perbuatan atau karya yang baik) adalah salah satu syarat agar seseorang
tidak berada pada tempat yang paling rendah. Sebagaimana firman Allah:
Kemudian kami kembalikan dia ke tempat
yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.(QS.
At-Tiin:5-6)
Yang dimaksud
tempat yang paling rendah disini adalah neraka dan hanya orang-orang yang
mengerjakan amal saleh yang akan terjaga dari siksa-Nya. Maka jelasnya islam
menghimbau kita untuk berbuat kebajikan agar menjadi manusia yang mulia di
sisi-Nya.
Jadi Learning
to Do dalam konteks ini perlu dipahami dalam konteks bekerja atau beramal
sekaligus menjadikan motivasi dan menjadi factor yang dinamis untuk bekerja. [4]
3.
Learning to Be
(Belajar
Bagaimana Tetap Hidup atau Sebagai Dirinya).
Untuk dapat tetap hidup diperlukan pula “tahu diri”.
Dalam bahasa agama kita hal ini memghasilkan sikap tahu diri, sikap memahami
diri sendiri, sadar kemampuan diri sendiri dan nantinya akan menjadikan dirinya
mandiri. dengan demikian seorang yang telah menjalankan hal ini akan terhindar
dari sikap dengki, hasut, serakah, dan sikap radza’il (perilaku tercela).
Dengan demikian karena tahu diri ia akan menghindarkan diri dari sikap
ketergantungan kepada orang lain dan sesamanya.[5]
Karena setiap kepunyaan manusia adalah ketentuan yang telah direncanakan Allah.
Sebagaimana Firman-Nya:
Dan Jikalau Allah melapangkan rezki
kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi,
tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya
dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.(QS. Asy-syura:
27).
Setiap keadaan
hamba-hamba Allah tidaklah lepas dari kehendak-Nya yang telah disesuaikan
dengan ukuran kemampuan dan keadaannya, berangkat dari sinilah manusia harus
menyadari akan ketentuan apa yang telah menjadi bagian jatah pada diri masing-masing dan solusi atas
segala apa yang ia hadapi adalah terdapat pada dirinya sendiri jika ia mau
melapangkan waktu untuk berfikir dan menyadari. Karena Allah pun telah berfirman:
Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS. Al-Baqoroh: 286)
Yang paling
utama bagi ajaran islam ialah mengenai kesadaran hubungan manusia dengan
tuhannya, pengabdian yang dilaksanakan manusia selaku hambanya hendaknya
berlandaskan pada sikap keikhlasan, yang tumbuh dari hati nurani dan atas dasar
kesadaran diridan kebutuhan manusia itu sendiri untuk selalu mengabdikan diri
kepada Allah.[6]
Maka dari itu pendidikan
haruslah mengajarkan kepada anak didik agar menjadi tahu diri sehingga sadar
akan kekurangannya, kemudian mau belajar. Sadar atas kemampuannya akan
membangkitkan kesadaran atas prestasi yang diperoleh. Ia tidak akan menjadi
seorang yang memiliki sikap takabbur, ujub, riya’, merasa paling pintar,
arogan, merasa sempurna dan sebagainya. Learning
to Be berarti member kejelasan pemahaman adanya konteks etika dalam
kehidupan bagi seseorang.[7]
4.
Learning to Life Together (Belajar untuk Hidup
Bersama).
Manusia
secara kodrati di dalam menjalani kehidupannya memerlukan adanya pasangan dan
memang diciptakan secara berpasang-pasangan, hingga terbentuknya suatu
masyarakat manusia untuk berhubungan saling kenal-mengenal di antara sesamanya.[8]Allah
berfirman:
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.
al-Hujarat:13).
Ini merupakan dunia kenyataan: pluralisme. Hal ini
dapat terwujud jika kita bersedia menerima kenyataan akan adanya perbedaan.
Pemahaman terhadap pluralism akan menyadarkan kita akan nilai-nilai universal
seperti HAM, Demokrasi dan sebagainya.[9]
Islam dengan
jelas telah mengajarkan realitas perbedaan agama ini dengansederhana dan tegas:
“lakum diinukum waliyadiin”. Islam
juga jelas menekankan perlunya saling mengenal dan saling belajar serta saling
memanfaatkan atau membantu satu sama lain meskipun ada perbedaan suku, etnis,
bahasa, warga Negara dan sebagainya.[10]
- Contoh Aplikasi Visi Pendidikan Abad 21 Menurut UNESCO dalam Dunia Pendidikan.
- Learning to Think atau Learning to Know (Belajar Bagaimana Berfikir atau Belajar Mengetahui).
Mendirikan madrasah al-quran untuk menhhindari buta
huruf bagi penduduk khususnya anak-anak di daerah terpencil yang jarang
tersentuh oleh pendidikan. Masyarakat disana diberi pengetahuan tentang makhroj
dan bacaan tajwid secara terformulasi dalam ayat-ayat al-quran. tahap
selanjutnya yaitu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam Al-qur’an yang
berkisar pada surat-surat pendek dan menghayati apa yang terkandung didalamnya.
- Learning to Do (Belajar Hidup atau Belajar Bagaimana Berbuat atau Bekerja).
Dalam konteks ini manusia dididik tidak hanya untuk
mengetahui saja akan tetapi di arahkan bagaimana pelajaran yang ia terima dapat
dengan bertahap ia aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh didalam
surat Al-‘Ashr: sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, kecuali bagi orang yang beriman dan mengerjakan
amal soleh dan nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetap kesabaran. Maka dalam penjelasan ayat ini
hendaknya anak didik di ajari apakah amal soleh itu agar dapat mereka wujudkan
dalam kehidupan sehari.
- Learning to Be (Belajar Bagaimana Tetap Hidup atau Sebagai Dirinya).
Melalui pembelajaran qur’ani perlu pula di adakannya
penjabaran kedudukan manusia yang memiliki berbagai aspek yang berbeda antar
sesamanya di mana Allah telah menentukan setiap nasib yang seimbang di hadapan-Nya.
Seperti halnya pemberian rizki oleh Allah kepada umat yang kaya tidak semata
kekayaan tersebut adalah milik ia sendiri, akan tetapi kesadaran akan dirinya
adalah perantara bagi orang-orang miskin haruslah dihidupkan agar ia terwujud
menjadi orang yang dermawan.
- Learning to Life Together (Belajar untuk Hidup Bersama).
Mengamalkan secara rill di lingkungan masyarakat
mengenai apa yang telah dipelajari dan
dilaksanakan secara ikhlas atas kesadaran tanggung jawabnya sebagai kholifah fil ardh, dapat dilatih
melalui pengembangan potensi dalam berorganisasi, perlu adanya organisasi yang
terprogram dalam suatu lembaga pendidikan yang oprasionalnya memiliki obyek
msyarakat kecil. Agar mendapatkan hasil yang lebih nyata mengadakan kegiatan
Bakti Sosial (Baksos) akan menjadi solusi yang sangat bagus agar seseorang
memiliki peluang atau kesempatan mengamalkan sekaligus mengajarkan apa-apa yang
telah mereka dapat selama belajar. Dalam konteks ini telah sampailah seseorang
pada gerbang terakhir dimana ke-empat pilar pendidikan terumuskan dalam visi
pendidikan UNESCO. Menjadi kesatuan yang utuh membentuk performa karakter yang kaffah di tengah era globalisasi.
[1] Raditio
Sulistio, Empat Pilar Pendidikan Menurut
UNESCO, http://rstdjogdja80.blogspot.com,
diakses pada tanggal 13 Mei 2012.
[2]
Arifudin Arif, Pengantar
Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kultura GP Press Group, 2008), hlm.
127-128.
[3] Ibid, hlm. 127-128.
[4]
Ibid.
hlm. 129-130.
[5]
Ibid,
hlm.130
[6] Trio Supriyanto, Humanitas Spiritual dalam Pendidikan, (Malang:
UIN Malang Press, 2009). hlm.82
[7]Opcit,
hlm.130-131
[8]
Opcit. hlm.85.
[9]
Arifudin Arif, Pengantar
Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kultura GP Press Group, 2008), hlm. 131.
[10]
ibid,
hlm.131-132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar